Selasa, 12 Mei 2009

Tips dan Rambu-Rambu Beramar Ma`ruf Nahi Munkar

Amar ma`ruf nahi munkar hukumnya fardhu kifayah bagi umat Islam, sesuai dengan
firman Allah, yang artinya, ”Dan hendaklah sebagian dari kalian ada umat yang menyeru kepada kebaikan, memerintahkan kepada hal yang ma`ruf dan melarang kepada hal yang munkar, dan merekalah orang-orang yang meraih kemenangan.” (Ali Imran [3]: 104)

Karena tujuan amar ma`ruf nahi munkar menghilangkan kemunkaran, maka ada rambu-rambu yang perlu diperhatikan, sehingga tujuan amalan ini tercapai. Karena tak jarang, amar ma’ruf nahi munkar yang dilakukan tanpa memparhatikan adab malah menimbulkan kerusakan yang lebih besar dan kemunkaran tetap merajalela. Inilah adab-adab yang perlu diperhatikan bagi siapa saja yang hendak mengubah kemunkaran.

Berniat Ikhlas

Ibnu Muflih berpesan, handaknya pelaku amar ma’ruf nahi munkar memiliki niat yang benar, ikhlas, menghidupkan sunnah atau “menolong” syari’ah. (Lihat Al Adab As Syar’iyah, hal. 212, vol.1).

Ini sejalan dengan sabda Rasulullah (SAW), beliau telah menyatakan,”Sesungguhnya sesuatu tergantung kepada niatnya.” (Riwayat Bukhari).

Dimulai dengan Cara yang Paling Lembut

Ketika melihat kemunkaran, maka untuk merubahnya, hendaknya menggunakan cara yang paling ringan terlebih dahulu, yakni dengan nasehat yang lembut. Baru, ketika nasihat tidak berguna, maka penggunaan nasehat yang lebih tegas diperlukan. Namun, ketika teguan keras tidak berfungsi, boleh pelaku amar ma’ruf menggunakan tangan, dan seterusnya, sebagaimana dijelaskan Imam As Syaukani dan Ibnu Al Arabi. (Lihat, Sail Al Jarrar, hal. 586 dan Ahkam Al-Quran, hal. 293, vol.1)

Menghilangkan Kemunkaran Bukan Menghukum

Fungsi amar ma’ruf nahi munkar adalah untuk menghilangakan kemunkaran, bukan menghukum. Sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam (SAW), ”Barang siapa di antara kalian melihat kemunkaran, maka hendaknya ia rubah dengan tangannya...” (Riwayat Muslim).

Dengan demikian, tidak dibenarkan perbuatan itu dilakukan untuk menghukum pelaku kemunkaran. Karena amar ma’ruf boleh dilakukan siapa saja, sedangkan menghukum adalah tugas penguasa. (Lihat, Ihya Ulumuddin, hal. 359, vol.2).

Menimbang Maslahat dan Madharat

Sebelum beramar ma’ruf nahi munkar, si pelaku perlu menimbang dengan cermat antara maslahat dan madharatnya. Apabila diperkirakan madharat yang timbul akibat amar ma’ruf besar, maka hendaknya perbuatan ini dihindari terlebih dahulu.

Misalkan, dengan adanya amar ma’ruf maka timbul konflik senjata, maka amar ma’ruf harus dihentikan, karena pertumpahan darah adalah kemunkaran yang lebih besar daripada kemunkaran yang terjadi sebelumnya. Sebagaimana Rasulullah (SAW) melarang membunuh dedengkot munafiqin, Abdullah bin Ubai bin Salul, agar orang-orang kafir tidak mengatakan bahwa Muhammad telah membunuh temannya sendiri. Sebagaimana Al Qur`an juga melarang mencela sesembahan kaum musryikin, karena perbuatan itu bisa menyababkan kaum musyrikin mencela Allah Ta’ala.

Memperhatikan Kemampuan

Amar ma’ruf nahi munkar adalah sebuah kewajiban, akan tetapi pelaksanaannya harus mempertimbangkan kemampuan diri. Allah Ta’ala berfirman, ”Allah tidak membebani sesorang kecuali sesuai dengan kemampuannya”. (Al Baqarah: 286).

Tapi bukan berarti dengan demikian pelaku amar ma’ruf harus meninggalkan ingkar sama sekali. Karena dalam posisi demikian ingkar dengan hati tetap diwajibkan (Lihat, Al Qurthubi, vol. 4, hal 48, Ihya’ Ulum Ad Din vol.2, hal. 346-347).

Menghindari Masalah Khilafiyah

Para ulama berpendapat bahwa amar ma’ruf nahi munkar berlaku dalam masalah yang sudah disepakati keharamannya, bukan masalah yang masih diperselisihkan hukumnya, karena pengingkaran masalah khilafiyah bisa menyebabkan konflik antar umat Islam. Oleh sebab itu, para ulama membuat qaidah, “La yungkaru fi ma ikhtalafa fih, inama yingkaru fi ma ajma’a alaihi”. Kaidah ini memiliki makna, bahwa untuk masalah khilaf tidak boleh diingkari, akan pengingkaran hanya untuk masalah yang telah disepakati keharamannya. (Lihat, Al Asybah wa An Nadzair hal.341, vol.1).

Tidak Melupakan Diri Sendiri

Sudah dimaklumi, bahwa pelaku amar ma`ruf nahi munkar tidak boleh melupakan diri sendiri. Ancaman berat dari Allah kepada mereka yang menyuruh kebaikan kepada orang lain, akan tetapi dirinya malah gemar melakukan perbuatan maksyiat. Allah Ta’ala berfirman, yang artinya, ”Wahai orang-orang yang beriman, kenapa kalian mengatakan apa yang tidak kalian melakukan. Sungguh besar kemarahan Allah, ketika kalian mengatakan apa yang tidak kalian kerjakan.” (As Shaf [61]: 2,3). [tho/www.hidayatullah.com]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar