Kamis, 14 Mei 2009

Misteri Mengorok Diungkap Ilmuwan

E-mail Print PDF

Mendengkur termasuk salah satu bidang penelitian pakar modern. Bahkan di Jerman ada museum khusus tentang mendengkur.

Oleh: Catur Sriherwanto

Hidayatullah.com--Allah menjadikan tidur sebagai nikmat besar bagi hamba-Nya. Tidur juga merupakan tanda-tanda dari Allah yang dibentangkan di hadapan manusia, agar ia berupaya menguak rahasianya. Dengan tersingkapnya rahasia ini, manusia diharapkan merasakan nikmat karunia Allah itu, dan pada akhirnya menghaturkan syukur, serta mengakui kuasa Allah, Sang Pencipta tanpa tara.

Mendengarkan tidur

Seruan agar manusia memahami kehebatan Allah pada fenomena tidur nampaknya sangat penting. Bahkan sampai ada ayat khusus yang Allah wahyukan berkenaan dengan hal itu: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah tidurmu di waktu malam dan siang hari dan usahamu mencari sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mendengarkan.” (QS. Ar Ruum, 30:23)

Di ujung ayat Al Qur’an tersebut ada penegasan “Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mendengarkan.” Sejenak barangkali kita bertanya, apa hikmah di balik pemakaian kata “mendengarkan”? Mengapa bukan “melihat” atau anjuran mengindera dengan cara lain? Pastilah ada hal besar di sini, sehingga Allah sengaja menyuruh manusia untuk “mendengarkan” fenomena tidurnya di malam dan siang hari serta upayanya mencari sebagian karunia-Nya. Apakah hikmah itu?

Sudah pasti Allah-lah yang paling tahu keseluruhan kandungan makna perintah “mendengar” tersebut. Namun, marilah kita selami sedikit hikmah perintah “mendengarkan” itu dalam kehidupan sehari-hari, dan kita batasi bahasan kali ini mengenai tidur saja.

Jika ada anjuran untuk “mendengarkan” fenomena tidur, maka sudah tentu yang didengarkan adalah suara atau bunyi. Dan salah satu di antara bunyi yang dihasilkan aktifitas tidur adalah mengorok atau mendengkur. Benarkah mendengkur itu bukan peristiwa remeh sehingga tidak patut diacuhkan, apalagi dijadikan bahan tertawaan?

Penelitian mengorok

Bagi orang yang menganggap “mengorok” sebagai hal biasa, maka tidak ada hal istimewa yang bisa diungkap. Namun bagi mereka yang serius mengkaji hal yang sekilas tampak sepele ini, maka mengorok adalah hal yang sungguh penting. Apalagi jika mengingat bahwa Allah, Pencipta Mahasempurna, adalah yang menciptakan peristiwa mengorok itu. Tidak mungkin ada kesia-siaan dalam penciptaan mendengkur.

Kita bisa membuktikan hal ini melalui situs pencari terbitan ilmiah PubMed, dan memasukkan kata “snoring” (yang berarti “mengorok”) pada kolom “title” (judul). Akan kita dapati bahwa hingga sekarang sudah 1000 lebih karya ilmiah tentang mendengkur yang diterbitkan ilmuwan mancanegara. Jika pengetahuan tentang mengorok bukan hal penting, para peneliti tidak akan bersusah payah menulis karya ilmiah seberlimpah itu.

Satu dari sekian banyak karya ilmiah terbaru tersebut adalah hasil penelitian Ozgur Yoruk dkk. dari fakultas kedokteran Universitas Atatürk, Turki. Tulisan itu terbit di jurnal European Archives of Oto-rhino-laryngology baru-baru ini. Mereka mengulas hasil penelitian tentang teknik pengobatan yang dilakukan melalui operasi pada bagian dalam mulut yang seringkali bergetar dan memunculkan suara di saat mengorok, yakni jaringan pada anak tekak dan langit-langit mulut pasien. Teknik yang mereka kembangkan ini dinamakan Modified Radiofrequency-Assisted Uvulopalatoplasty (MRAUP).

Ilmuwan gencar meneliti fenomena mengorok karena pada sebagian orang mengorok menimbulkan masalah besar. Masalah ini dapat berupa gangguan kesehatan atau tidak harmonisnya hubungan antar manusia.

Mendengkur juga bisa merupakan gejala berbagai macam kelainan pernapasan yang berkaitan dengan tidur. Kelainan ini muncul akibat penyumbatan saluran udara yang terjadi di saat tidur. Penyumbatan pada tingkat kecil menyebabkan peristiwa mengorok biasa yang tidak berakibat fatal.

Meskipun demikian, suara dengkuran yang terlalu berisik berakibat mengganggu pendamping tidur, keluarga, bahkan tetangga. Dengkuran superkeras merupakan sebuah pencemaran suara dan berdampak buruk pada kerukunan hidup sesama manusia. Contohnya adalah Alan Myatt asal Inggris, yang tercatat sebagai pendengkur terkeras dengan kekuatan 112,8 desibel. BBC menggambarkan angka ini setara dengan kebisingan suara mesin jet. Ia menuturkan bahwa dengkurannya tidak saja mengganggu sang istri, tapi juga para tetangganya.

Jika penyumbatan saluran udara ketika tidur itu sangat parah, bahkan tersumbat sama sekali, ini mengakibatkan gangguan yang disebut sebagai sindrom terhentinya napas saat tidur (Obstructive Sleep Apnea, OSA) – apnea secara harfiah berarti “berhenti bernapas”. Pendengkur yang menderita kelainan ini seringkali berhenti bernapas selama 1 menit atau lebih di saat lelap tidur. Kelainan ini di antaranya berdampak buruk pada penyakit jantung, tekanan darah, dan daya ingat.

Untuk membantu orang-orang seperti inilah para pakar melakukan penelitian ilmiah tentang upaya pengobatan pasien pendengkur, baik melalui operasi atau bukan operasi. Selain dalam bentuk tulisan ilmiah, upaya mereka ini juga terwujud dalam aneka macam teknologi atau alat bantu bagi para pengorok.

Museum mendengkur

Schnarch-Museum Alfeld atau Museum Mengorok Alfeld di Jerman menjadi saksi bahwa mengorok merupakan sesuatu yang luar biasa. Mengorok telah memunculkan kreatifitas manusia dalam rangka membantu sesama mereka yang memiliki masalah tersebut. Bermarkas maya di www.schnarchmuseum.de , museum ini didirikan oleh The Alfelder Schlafapnoe- Gesellschaft (ASG), yakni perkumpulan masyarakat di Alfeld yang memiliki perhatian terhadap apnea.

Museum ini menampilkan berbagai macam perangkat penanggulangan mengorok dari berbagai belahan dunia, yang kuno dan modern. Selain perangkat elektronik dan non-elektronik berbentuk unik, museum yang buka Sabtu Ahad ini memamerkan pula berbagai macam obat-obatan yang diramu untuk membantu meringankan penderitaan para pendengkur.

Demikianlah, tak sekejap apa pun peristiwa di depan mata, tak seberisik apa pun suara yang tertangkap telinga, melainkan ada hikmah maha-agung di balik itu semua. Ini karena Allah menciptakan setiap rincian terkecil hingga terbesar di setiap penjuru alam semesta dengan tujuan dan makna yang haq yang mampu diungkap oleh mereka yang bersungguh-sungguh menggunakan indera, akal dan hati mereka:

“Kami tiada menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya melainkan dengan (tujuan) yang benar dan dalam waktu yang ditentukan.” (QS. Al Ahqaf, 46:3)

Referensi:

1). NM Al Lawati et al. (2009). “Epidemiology, Risk Factors, and Consequences of Obstructive Sleep Apnea and Short Sleep Duration”. Obstructive Sleep Apnea Symposium. January-February 2009. Progress in Cardiovascular Diseases Vol 51 (4): 285-293.

2). C Main et al. (2009). “Surgical procedures and non-surgical devices for the management of non-apnoeic snoring: a systematic review of clinical effects and associated treatment costs.” January 2009. Health Technology Assessment 2009; Vol. 13 (3): iii, xi-xiv, 1-208.

3). O Yoruk et al. (2009). “Treatment of primary snoring using modified radiofrequency-assisted uvulopalatoplasty.” February 2009. European Archives of Oto-rhino-laryngology. [Epub ahead of print]

4). American Sleep Apnea Association Information (2008). “Sleep Apnea Association Information”. (http://www.sleepapnea.org/info/index.html , dikunjungi pada 14 Mei 2009).

5). Medical College of Wisconsin (2007). “Uvulopalatoplasty (UP)”. (http://www.mcw.edu/sleepmed/ObstructiveSleepApneaOSA/SurgeriesforOSA/UvulopalatoplastyUP.htm , dikunjungi pada 14 Mei 2009)

6). BBC News (2001). “Quiet night's sleep for 'world's loudest man'”. 19 June 2001. (http://news.bbc.co.uk/2/hi/health/1396836.stm , dikunjungi pada 14 Mei 2009)

7). Museum of Snoring Alfeld. (http://www.schnarchmuseum.de/html/englisch.html , dikunjungi pada 14 Mei 2009)


Selasa, 12 Mei 2009

Bahaya, Selingkuh Menjadi Rekreasi Pejabat Negara!

Psikolog Universitas Sumatera Utara, Irna Minauli baru-baru ini menyebutkan, hampir sekitar 80 persen pejabat Sumatera Utara telah berselingkuh. Menurutnya, selingkuh merupakan bagian dari rekreasinya pejabat.

"Memang benar, banyak pejabat yang berselingkuh. Hal ini disebabkan karena banyaknya pekerjaan dikantor, jadi para pejabat ingin berekreasi dengan berbagai cara," kata Irna dikutip Waspada.

Namun katanya, kebanyakkan para pejabat berfantasi dengan cara melakukan berhubungan intim dengan wanita lain bukan dengan istri sendiri. Padahal, lanjutnya hal ini tidak boleh dilakukan, karena dilarang setiap agama.

Irna menuturkan, perselingkuhan pejabat ini, pada umumnya dilakukan oleh pria dan wanita yang berumur 30-40 tahun. Tindakan yang dilakukan pejabat tersebut diusia demikian bisa dikatakan masa puber yang kedua.

"Kemungkinan tindakan yang dilakukannya, pada masa mudanya kurang bergaul. Dan hal ini menjadi trend dikalangan sekelompok pejabat yang suka berselingkuh, agar tidak d

Hidayatullah.com

Tiga Tantangan Dakwah Umat Islam

Sebelum maraknya paham liberal, cendekiawan Muslim Mohammad Natsir telah menyampaikan 3 tantangan dakwah. Baca Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian ke-260

Oleh: Adian Husaini

hidayatullah.com--Harian Republika (20/4/2009) menurunkan berita berjudul “Tiga Tantangan Dakwah Umat Islam”. Berita itu mengutip bagian orasi ilmiah yang saya sampaikan di Aula Masjid al-Furqan - Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia pada 18 April 2009. Tiga tantangan dakwah eksternal itu saya ambil dari rumusan Mohammad Natsir yang disampaikan kepada sejumlah cendekiawan Muslim pada tahun 1986-1987.

Ketika itu, sejumlah cendekiawan – seperti Dr. M. Amien Rais, Dr. Kuntowijoyo, Dr. Yahya Muhaimin, Dr. A. Watik Pratiknya, dan Endang S. Anshari -- melakukan wawancara intensif dengan Dr. Mohammad Natsir. Mereka menggali pemikiran Natsir dengan sangat intensif. Berulangkali wawancara dilakukan. Sayang, hasil rekaman wawancara itu kemudian tidak terselamatkan. Dokumen yang tersisa hanya sebuah buku setebal 143 halaman, berjudul Percakapan Antar Generasi: Pesan Perjuangan Seorang Bapak (1989).

Tentu saja, buku ini menjadi sangat penting, karena merekam pemikiran dan pesan-pesan perjuangan Dr. Mohammad Natsir kepada generasi pelanjutnya. Natsir memang dikenal sebagai seorang pejuang dan pemikir Islam, yang pada 7 November 2008 diberi gelar Pahlawan Nasional oleh pemerintah RI.

Kiprah M. Natsir dalam perjuangan Islam dikenal secara luas, bukan hanya di Indonesia, tetapi juga di dunia Islam. Meskipun buku Percakapan Antar Generasi itu mengemukakan gagasan-gagasan singkat, tetapi banyak pemikiran penting yang bisa dipetik dari seorang M. Natsir, yang ketika itu sampai pada tahap-tahap kematangan pemikirannya, setelah berkiprah dalam dunia dakwah lebih dari 60 tahun.

Dalam buku Percakapan Antar Generasi: Pesan Perjuangan Seorang Bapak, M. Natsir menyebutkan, ada tiga tantangan dakwah yang dihadapi umat Islam Indonesia, yaitu (1) Pemurtadan, (2) Gerakan sekularisasi, dan (3) gerakan nativisasi. Sepanjang hidupnya, Natsir sangat peduli dengan ketiga tantangan dakwah tersebut.

Untuk menanggulangi Kristenisasi, Natsir aktif menggerakkan kader-kader Muslim untuk membendung arus Kristenisasi. Ia pun aktif menulis buku-buku seputar Kristenisasi. Meskipun berteman dengan sejumlah tokoh Kristen, Natsir tidak rela umat Islam menjadi sasaran gerakan pemurtadan melalui Kristenisasi. Berikut ini, sebuah contoh imbauan M. Natsir kepada kaum Kristen di Indonesia:

"Hanya satu saja permintaan kami: Isyhaduu bi anna muslimuun. Saksikanlah dan akuilah bahwa kami ini adalah Muslimin. Yakni orang-orang yang sudah memeluk agama Islam. Orang-orang yang sudah mempunyai identitas-identitas Islam. Jangan identitas kami saudara-saudara ganggu, jangan kita ganggu-mengganggu dalam soal agama ini. Agar agama-agama jangan jadi pokok sengketa yang sesungguhnya tidak semestinya begitu. Marilah saling hormat menghormati identitas kita masing-masing, agar kita tetap bertempat dan bersahabat baik dalam lingkungan "Iyalullah" keluarga Tuhan yang satu itu.

Kami ummat Islam tidak apriori menganggap musuh terhadap orang-orang yang bukan Islam. Tetapi tegas pula Allah SWT melarang kami bersahabat dengan orang-orang yang mengganggu agama kami, agama Islam. Malah kami akan dianggap zalim bila berbuat demikian (almumtahinah). Dengan sepenuh hati kami harapkan supaya saudara-saudara tidaklah hendaknya mempunyai hasrat sebagaimana idam-idaman sementara golongan orang-orang Nashara yang disinyalir dalam Al Quran yang tidak senang sudah, bila belum dapat mengkristenkan orang-orang yang sedang beragama Islam. Mudah-mudahan jangan demikian, sebab kalau demikian maka akan putuslah tali persahabatan, akan putus pula tali suka dan duka yang sudah terjalin antara kita semua.

Jangan-jangan nanti jalan kita akan bersimpang dua dengan segala akibat yang menyedihkan. Baiklah kita berpahit-pahit, kadang-kadang antara saudara dengan saudara ada baiknya kita berbicara dengan berpahit-pahit, yakni yang demikian tidaklah dapat kami lihatkan saja sambil berpangku tangan.

Sebab, kalaulah ada sesuatu harta yang kami cintai dari segala-galanya itu ialah agama dan keimanan kami. Itulah yang hendak kami wariskan kepada anak cucu dan keturunan kami. Jangan tuan-tuan coba pula memotong tali warisan ini." (Seperti dikutip oleh Prof. Umar Hubeis dalam mukaddimah buku Dialog Islam dan Kristen, yang ditulis oleh Bey Arifin, 1983:28-29).

Jadi, kata M. Natsir: "harta yang kami cintai dari segala-galanya itu ialah agama dan keimanan kami". Ungkapan itu mengindikasikan keseriusan seorang Muslim yang peduli dengan aqidah umat. Bagi seorang Muslim, mempertahankan keimanan adalah hal terpenting. Tugas berikutnya adalah melaksanakan aktivitas amar ma’ruf nahi munkar, yakni memperjuangkan tegaknya kebenaran dan mencegah serta melawan kemunkaran, yang sering diistilahkan oleh M. Natsir sebagai aktivitas “binaa’an wa difaa’an.”

Tantangan kedua yang disebutkan M. Natsir adalah sekularisasi. Dalam pesannya kepada generasi Amien Rais dan kawan-kawan tersebut, M. Natsir menyatakan bahwa selain timbul secara ”alamiah” akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sekularisasi juga dilakukan secara aktif oleh sejumlah kalangan. Menurutnya, sekularisasi otomatis akan berdampak pada pendangkalan aqidah. Tentang hal ini, M. Natsir menyatakan:

Namun demikian, proses sekularisasi yang terjadi seperti ”alamiah” sejalan dengan perkembangan zaman di atas, rupanya dihidup-hidupkan oleh sekelompok orang. Saya sebut ”dihidup-hidupkan” karena memang kita mengetahui ada usaha aktif untuk terjadinya proses sekularisasi ini. Di tahun tujuh-puluhan kita ingat adanya ”gerakan sekularisasi” dalam rangka apa yang mereka sebut ”pembaharuan” Islam. Demikian pula yang terjadi akhir-akhir ini, ada ”reaktualisasi”, ada ”kontekstualisasi”, dan sebagainya. Jadi memang ada usaha aktif.

Proses sekularisasi ini amat nyata terutama dalam sistem pendidikan kita. Pelajaran atau pemahaman agama diberikan bukan saja dalam content yang terbatas, tetapi diberikannya pelajaran lain yang isinya mengaburkan atau bahkan bertentangan dengan tujuan mendidik manusia religius. Proses sekularisasi juga menggunakan jalur publikasi dan media massa. Baik dalam bentuk buku-buku maupun tulisan. Dalam kaitan ini saya mengajak pada para intelektual muslim khususnya untuk memikirkan bagaimana menghadapi arus sekularisasi ini, baik yang terjadi secara alamiah maupun yang disengaja.”

Ketika itu, M. Natsir sangat prihatin dengan gerakan pembaruan Islam dan sekularisasi yang digerakkan oleh Nurcholish Madjid. Pada 3 Januari 1970, Nurcholish Madjid, yang ketika itu menjabat Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam Indonesia (HMI), secara resmi menggulirkan perlunya dilakukan sekularisasi Islam dan juga proses Liberalisasi. Dalam makalahnya yang berjudul: “Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat”, Nurcholish Madjid menyatakan: “…pembaruan harus dimulai dengan dua tindakan yang saling erat hubungannya, yaitu melepaskan diri dari nilai-nilai tradisional dan mencari nilai-nilai yang berorientasi ke masa depan. Nostalgia, atau orientasi dan kerinduan pada masa lampau yang berlebihan, harus diganti dengan pandangan ke masa depan. Untuk itu diperlukan suatu proses liberalisasi. Proses itu dikenakan terhadap “ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan Islam” yang ada sekarang ini...” Untuk itu, menurut Nurcholish, ada tiga proses yang harus dilakukan dan saling kait-mengait: (1) sekularisasi, (2) kebebasan intelektual, dan (3) ‘Gagasan mengenai kemajuan’ dan ‘Sikap Terbuka’.

Sebagai orang tua yang mengaku sangat berharap pada Nurcholish Madjid, Natsir akhirnya kecewa dengan gagasan dan gerakan sekularisasi tersebut. Pada 1 Juni 1972, dilakukan pertemuan tokoh-tokoh di kediaman M. Natsir. Semula, pertemuan itu bukan untuk membahas fenomena gagasan Pembaharuan, tetapi akhirnya hal itu menjadi pembahasan pokok ketika Natsir mengungkapkan masalah tersebut. Meskipun mengaku sudah menganggap Nurcholish Madjid seperti “anak sendiri”, tetapi Natsir mengaku risau dengan hasrat gagasan Pembaharuan yang ingin “menjauhkan diri dari “cita-cita akidah dan umat Islam.” (Lihat, Muhammad Kamal Hassan, Modernisasi Indonesia: Respon Cendekiawan Muslim (Ciputat: Lingkaran Studi Indonesia, 1987),

Natsir sendiri memandang bahwa modernisasi dalam Islam harus diartikan sebagai ”kembali kepada yang pokok atau keaslian”, bukan ”menyimpang dari yang telah ada, tanpa melihat baik dan buruknya”. Sedangkan pengertian ”Tajdid”, Natsir mengutip dari tokoh Muhammadiyah KH Faqih Usman, yaitu ”mengintrodusir kembali apa yang dulu pernah ada tetapi ditinggalkan.” Yaitu, ”membersihkan kembali Islam dari apa yang telah ditutupi oleh ”noda-noda”.” (Lihat, Percakapan antar-Generasi, hal. 25-26).

Karena memandang sekularisasi dan sekularisme sebagai ancaman yang serius bagi umat Islam, maka M. Natsir mencurahkan segenap tenaganya untuk menghadapi paham seperti ini. Bahkan, pada hampir sebagian besar masa hidupnya, Natsir telah melibatkan diri secara aktif dalam upaya menanggulangi dan melawan gerakan sekularisasi. Sebelum masa kemerdekaan, bersama gurunya, A. Hassan, Natsir sudah terlibat polemik dengan Soekarno.

Setelah merdeka, Natsir terus berjuang menawarkan Islam sebagai solusi bagi bangsa Indonesia dan menjelaskan bahaya sekularisme. Pada Sidang Konstituante pada 13 November 1957, Natsir menyampaikan pidato yang bersejarah tentang Islam dan sekularisme. Ketika itulah, Natsir mengupas tuntas kelemahan sekularisme, yang dia katakan sebagai paham tanpa agama, atau la diiniyah.

Sekularisme, kata Natsir, adalah suatu cara hidup yang mengandung paham, tujuan, dan sikap hanya di dalam batas keduniaan. ”Seorang sekularis tidak mengakui adanya wahyu sebagai salah satu sumber kepercayaan dan pengatahuan. Ia menganggap bahwa kepercayaan dan nilai-nilai itu ditimbulkan oleh sejarah ataupun oleh bekas-bekas kehewanan manusia semata-mata dan dipusatkan kepada kebahagiaan manusia dalam kehidupan sekarang ini belaka,” ujar Natsir.

Natsir dengan tegas menawarkan kepada Sidang Konstituante agar menjadikan Islam sebagai dasar negara RI. Kata Natsir, ”Jika dibandingkan dengan sekularisme yang sebaik-baiknya pun, maka adalah agama masih lebih dalam dan lebih dapat diterima oleh akal. Setinggi-tinggi tujuan hidup bagi masyarakat dan perseorangan yang dapat diberikan oleh sekularisme, tidak melebihi konsep dari apa yang disebut humanity (perikemanusiaan). Yang menjadi soal adalah pertanyaan, ”Di mana sumber perikemanusiaan itu?”

Jika ditelaah, pidato Natsir itu sangat mendasar sifatnya. Natsir sudah mengkritik paham ”kemanusiaan” yang dijadikan pilihan bagi kaum sekular yang menafikan peran Tuhan sebagai sumber kemanusiaan. Padahal, paham kemanusiaan inilah yang kini dijadikan banyak orang untuk melandasi konsep-konsep HAM. Demi ”kemanusiaan”, kaum sekular memandang baik perkawinan sesama jenis dan perkawinan lintas agama. Juga demi kemanusiaan, kaum sekular memandang perzinahan sebagai hal yang baik, selama dilakukan suka sama suka. Begitu juga, dengan alasan ”kemanusiaan” dan ”nilai kesenian”, kaum sekular mendukung hak untuk ”bertelanjang” dengan alasan ”kebebasan berekspresi”.

Karena itulah, Natsir mempersoalkan, ”di mana sumber kemanusiaan”? Islam menegaskan, bahwa sumber nilai kemanusiaan adalah wahyu, bukan perasaan manusia atau budaya manusia. Karena wahyu, maka ia bersifat universal, abadi, dan pasti. Seorang Muslim, misalnya, pasti mengasihi sesama makhluk, karena berdasarkan pada keimanannya. Tetapi, Nabi Ibrahim a.s. terpaksa harus berpisah dengan ayahnya karena urusan keimanan. Sejumlah muslimah di Mekkah memilih untuk meninggalkan suami mereka karena urusan iman. Aspek ”iman” inilah yang luput dari pemikiran kaum sekular. Kaum feminis sekular yang menolak konsep ”pengabdian pada suami” bagi wanita, menafikan aspek iman. Padahal, banyak muslimah merasakan kebahagiaan dalam hidupnya karena yakin, bahwa mentaati perintah suami adalah satu bentuk ibadah.

Karena itulah, Natsir mengajak bangsa Indonesia untuk secara serius meninggalkan pandangan hidup sekular. Karena perhatiannya yang begitu serius terhadap masalah sekularisme ini, Natsir memang tidak sejalan dengan gagasan sekularisasi Nurcholish Madjid. Natsir juga mendukung usaha Prof. HM Rasjidi yang menerbitkan dua buku berisi kritik terhadap pemikiran Nurcholish Madjid. Tahun 1972, Rasjidi menulis buku Sekularisme dalam Persoalan Lagi: Suatu Koreksi atas Tulisan Drs. Nurcholish Madjid, (Jakarta: Jajasan Bangkit). Setahun kemudian, Rasjidi kembali menulis buku berjudul Suatu Koreksi Lagi bagi Drs. Nurcholish Madjid, (Jakarta: DDII, 1973). Sebagai seorang senior yang berpengalaman belajar pada para orientalis di Barat dan juga mengajar di McGill University, Prof. Rasjidi seperti tidak tahan lagi melihat kekeliruan pemikiran Nurcholish Madjid. Dalam kritik-kritiknya, Rasjidi juga mengupas upaya Nurcholish Madjid yang ’arbitrair’ (semena-mena) dalam menggunakan istilah tertentu.

Tantangan ketiga yang disebut M. Natsir adalah ”nativisasi”. Upaya ini dilakukan baik secara sistematis atau tidak, untuk menafikan peran Islam dalam pembentukan kebudayaan Indonesia. Islam dianggap sebagai barang asing yang tidak sesuai dengan jati diri bangsa. Upaya nativisasi ini telah kita bahas dalam CAP 259, sebagaimana dilakukan oleh orientalis Belanda, seperti Snouck Hurgronje. [www.hidayatullah.com]

Tips dan Rambu-Rambu Beramar Ma`ruf Nahi Munkar

Amar ma`ruf nahi munkar hukumnya fardhu kifayah bagi umat Islam, sesuai dengan
firman Allah, yang artinya, ”Dan hendaklah sebagian dari kalian ada umat yang menyeru kepada kebaikan, memerintahkan kepada hal yang ma`ruf dan melarang kepada hal yang munkar, dan merekalah orang-orang yang meraih kemenangan.” (Ali Imran [3]: 104)

Karena tujuan amar ma`ruf nahi munkar menghilangkan kemunkaran, maka ada rambu-rambu yang perlu diperhatikan, sehingga tujuan amalan ini tercapai. Karena tak jarang, amar ma’ruf nahi munkar yang dilakukan tanpa memparhatikan adab malah menimbulkan kerusakan yang lebih besar dan kemunkaran tetap merajalela. Inilah adab-adab yang perlu diperhatikan bagi siapa saja yang hendak mengubah kemunkaran.

Berniat Ikhlas

Ibnu Muflih berpesan, handaknya pelaku amar ma’ruf nahi munkar memiliki niat yang benar, ikhlas, menghidupkan sunnah atau “menolong” syari’ah. (Lihat Al Adab As Syar’iyah, hal. 212, vol.1).

Ini sejalan dengan sabda Rasulullah (SAW), beliau telah menyatakan,”Sesungguhnya sesuatu tergantung kepada niatnya.” (Riwayat Bukhari).

Dimulai dengan Cara yang Paling Lembut

Ketika melihat kemunkaran, maka untuk merubahnya, hendaknya menggunakan cara yang paling ringan terlebih dahulu, yakni dengan nasehat yang lembut. Baru, ketika nasihat tidak berguna, maka penggunaan nasehat yang lebih tegas diperlukan. Namun, ketika teguan keras tidak berfungsi, boleh pelaku amar ma’ruf menggunakan tangan, dan seterusnya, sebagaimana dijelaskan Imam As Syaukani dan Ibnu Al Arabi. (Lihat, Sail Al Jarrar, hal. 586 dan Ahkam Al-Quran, hal. 293, vol.1)

Menghilangkan Kemunkaran Bukan Menghukum

Fungsi amar ma’ruf nahi munkar adalah untuk menghilangakan kemunkaran, bukan menghukum. Sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam (SAW), ”Barang siapa di antara kalian melihat kemunkaran, maka hendaknya ia rubah dengan tangannya...” (Riwayat Muslim).

Dengan demikian, tidak dibenarkan perbuatan itu dilakukan untuk menghukum pelaku kemunkaran. Karena amar ma’ruf boleh dilakukan siapa saja, sedangkan menghukum adalah tugas penguasa. (Lihat, Ihya Ulumuddin, hal. 359, vol.2).

Menimbang Maslahat dan Madharat

Sebelum beramar ma’ruf nahi munkar, si pelaku perlu menimbang dengan cermat antara maslahat dan madharatnya. Apabila diperkirakan madharat yang timbul akibat amar ma’ruf besar, maka hendaknya perbuatan ini dihindari terlebih dahulu.

Misalkan, dengan adanya amar ma’ruf maka timbul konflik senjata, maka amar ma’ruf harus dihentikan, karena pertumpahan darah adalah kemunkaran yang lebih besar daripada kemunkaran yang terjadi sebelumnya. Sebagaimana Rasulullah (SAW) melarang membunuh dedengkot munafiqin, Abdullah bin Ubai bin Salul, agar orang-orang kafir tidak mengatakan bahwa Muhammad telah membunuh temannya sendiri. Sebagaimana Al Qur`an juga melarang mencela sesembahan kaum musryikin, karena perbuatan itu bisa menyababkan kaum musyrikin mencela Allah Ta’ala.

Memperhatikan Kemampuan

Amar ma’ruf nahi munkar adalah sebuah kewajiban, akan tetapi pelaksanaannya harus mempertimbangkan kemampuan diri. Allah Ta’ala berfirman, ”Allah tidak membebani sesorang kecuali sesuai dengan kemampuannya”. (Al Baqarah: 286).

Tapi bukan berarti dengan demikian pelaku amar ma’ruf harus meninggalkan ingkar sama sekali. Karena dalam posisi demikian ingkar dengan hati tetap diwajibkan (Lihat, Al Qurthubi, vol. 4, hal 48, Ihya’ Ulum Ad Din vol.2, hal. 346-347).

Menghindari Masalah Khilafiyah

Para ulama berpendapat bahwa amar ma’ruf nahi munkar berlaku dalam masalah yang sudah disepakati keharamannya, bukan masalah yang masih diperselisihkan hukumnya, karena pengingkaran masalah khilafiyah bisa menyebabkan konflik antar umat Islam. Oleh sebab itu, para ulama membuat qaidah, “La yungkaru fi ma ikhtalafa fih, inama yingkaru fi ma ajma’a alaihi”. Kaidah ini memiliki makna, bahwa untuk masalah khilaf tidak boleh diingkari, akan pengingkaran hanya untuk masalah yang telah disepakati keharamannya. (Lihat, Al Asybah wa An Nadzair hal.341, vol.1).

Tidak Melupakan Diri Sendiri

Sudah dimaklumi, bahwa pelaku amar ma`ruf nahi munkar tidak boleh melupakan diri sendiri. Ancaman berat dari Allah kepada mereka yang menyuruh kebaikan kepada orang lain, akan tetapi dirinya malah gemar melakukan perbuatan maksyiat. Allah Ta’ala berfirman, yang artinya, ”Wahai orang-orang yang beriman, kenapa kalian mengatakan apa yang tidak kalian melakukan. Sungguh besar kemarahan Allah, ketika kalian mengatakan apa yang tidak kalian kerjakan.” (As Shaf [61]: 2,3). [tho/www.hidayatullah.com]

Selasa, 05 Mei 2009

Hadist Tentang Sabar

Beberapa Hadist-hadist Tentang Sabar


01. ’ binti Bra’ yaitu ibunya Haritsah bin Suraqah, datang kepada Nabi saw, alau dia berkata;" Wahai Nabi Allah, hendaklah engkau memberitakan kepadaku tentang (nasib) Haritsah; dimana ia terbunuh pada perang Badar terkena anak panah yang asing ( tidak diketahui siapa pemanahnyadan dari mana datangnya). Jika ia di surga maka aku bersabar, dan jika tidak demikian maka aku hendak bersungguh-sungguh menangisinya." Beliau bersabda: "Wahai ibunya Haritsah, sesungguhnya itu derajat-derajat di surga, dan sesungguhnya anakmu mendapat surga Firdaus yang luhur."
(HR: Bukhari)
02. "Dari Abu Sa’id Al Khudryi ra. Bahwasanya orang-orang Anshar minta kepada Rasulullah saw., lalu beliau memberi kepada mereka. Kemudian mereka minta kepada beliau, lalu beliau memberi mereka sehingga habislah apa yang ada di sisi beliau. Lalu beliau bersabda : "Di tempatku, tidak ada harta, aku tidak akan menyimpannya terhadapmu. Barangsiapa menjaga diri, maka Allah menjaganya. Barangsiapa yang memohon kaya kepada Allah, maka Allah menjadikannya ia kaya, dan barang siapa yang mensabarkan diri maka Allah akan memberinya kesabaran. Tidaklah seseorang dikaruniai pemberian yang lebih baik dan lebih luas daripada kesabaran."
(HR: Bukhari)
03. Dari Ibnu Abbas, dari Nabi saw., beliau bersabda : `Siapa yang membenci penguasanya terhadap sesuatu (urusan agama) maka bersabarlah; karena sesungguhnya orang yang keluar dari (kepatuhuhi)".
(HR: Bukhari)

Serambi Tashawwuf

Keajaiban Seorang Mukmin

Dari Suhaib r.a., bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Sungguh menakjubkan perkaranya orang yang beriman, karena segala urusannya adalah baik baginya. Dan hal yang demikian itu tidak akan terdapat kecuali hanya pada orang mukmin; yaitu jika ia mendapatkan kebahagiaan, ia bersyukur, karena (ia mengetahui) bahwa hal tersebut merupakan yang terbaik untuknya. Dan jika ia tertimpa musibah, ia bersabar, karena (ia mengetahui) bahwa hal tersebut merupakan hal terbaik bagi dirinya.” (HR. Muslim)

Sekilas tentang Hadits di atas

Hadits ini merupakan hadits shahih dengan sanad sebagaimana di atas, melalui jalur Tsabit dari Abdurrahman bin Abi Laila, dari Suhaib dari Rasulullah SAW, diriwayatkan oleh:

  • Imam Muslim dalam Shahihnya, Kitab Al-Zuhud wa Al-Raqa’iq, Bab Al-Mu’min Amruhu Kulluhu Khair, hadits no 2999.

  • Imam Ahmad bin Hambal dalam empat tempat dalam Musnadnya, yaitu hadits no 18455, 18360, 23406 & 23412.

  • Diriwayatkan juga oleh Imam al-Darimi, dalam Sunannya, Kitab Al-Riqaq, Bab Al-Mu’min Yu’jaru Fi Kulli Syai’, hadits no 2777.

Makna Hadits di atas Secara Umum

Setiap mukmin digambarkan oleh Rasulullah saw. sebagai orang yang memiliki pesona, yang digambarkan dengan istilah ‘ajaban’. Pesona berpangkal dari adanya positif thinking seorang mukmin. Ketika mendapatkan kebaikan, ia refleksikan dalam bentuk syukur terhadap Allah swt. Karena ia paham, hal tersebut merupakan anugerah Allah. Dan tidaklah Allah memberikan sesuatu kepadanya melainkan pasti sesuatu tersebut adalah positif baginya. Sebaliknya, jika ia mendapatkan suatu musibah, ia akan bersabar. Karena ia yakin, hal tersebut merupakan pemberian sekaligus cobaan bagi dirinya yang ada rahasia kebaikan di dalamnya. Sehingga refleksinya adalah dengan bersabar dan mengembalikan semuanya kepada Allah swt.

Urgensi Kesabaran

Kesabaran merupakan salah satu ciri mendasar orang yang bertaqwa. Bahkan sebagian ulama mengatakan bahwa kesabaran setengah keimanan. Sabar memiliki kaitan erat dengan keimanan: seperti kepala dengan jasadnya. Tidak ada keimanan yang tidak disertai kesabaran, sebagaimana tidak ada jasad yang tidak memiliki kepala. Oleh karena itu, Rasulullah saw. menggambarkan ciri dan keutamaan orang beriman sebagaimana hadits di atas.

Makna Sabar

Sabar merupakan istilah dari bahasa Arab dan sudah menjadi istilah bahasa Indonesia. Asal katanya adalah “shabara”, yang membentuk infinitif (masdar) menjadi “shabran“. Dari segi bahasa, sabar berarti menahan dan mencegah. Menguatkan makna seperti ini adalah firman Allah dalam Al-Qur’an: “Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.” (Al-Kahfi: 28)

Perintah bersabar pada ayat di atas adalah untuk menahan diri dari keingingan ‘keluar’ dari komunitas orang-orang yang menyeru Rabnya serta selalu mengharap keridhaan-Nya. Perintah sabar di atas sekaligus juga sebagai pencegahan dari keinginan manusia yang ingin bersama dengan orang-orang yang lalai dari mengingat Allah swt.

Sedangkan dari segi istilahnya, sabar adalah menahan diri dari sifat kegundahan dan rasa emosi, kemudian menahan lisan dari keluh kesah serta menahan anggota tubuh dari perbuatan yang tidak terarah.

Amru bin Usman mengatakan, bahwa sabar adalah keteguhan bersama Allah, menerima ujian dari-Nya dengan lapang dan tenang. Hal senada juga dikemukakan oleh Imam Al-Khawas, “Sabar adalah refleksi keteguhan untuk merealisasikan Al-Qur’an dan sunnah. Sehingga sabar tidak identik dengan kepasrahan dan ketidakmampuan. Rasulullah saw. memerintahkan umatnya untuk sabar ketika berjihad. Padahal jihad adalah memerangi musuh-musuh Allah, yang klimaksnya adalah menggunakan senjata (perang).”

Sabar sebagaimana Digambarkan dalam Al-Qur’an

Dalam Al-Qur’an banyak ayat yang berbicara mengenai kesabaran. Jika ditelusuri, terdapat 103 kali disebut dalam Al-Qur’an, baik berbentuk isim maupun fi’ilnya. Hal ini menunjukkan betapa kesabaran menjadi perhatian Allah swt.

  1. Sabar merupakan perintah Allah. “Hai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan kepada Allah dengan sabar dan shalat, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (Al-Baqarah:153). Ayat- ayat yang serupa Ali Imran: 200, An-Nahl: 127, Al-Anfal: 46, Yunus: 109, Hud: 115.

  2. Larangan isti’jal (tergesa-gesa). “Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul dan janganlah kamu meminta disegerakan (azab) bagi mereka…” (Al-Ahqaf:35)

  3. Pujian Allah bagi orang-orang yang sabar: “…dan orang-orang yang bersabar dalam kesulitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar imannya dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa.” (Al-Baqarah: 177)

  4. Allah akan mencintai orang-orang yang sabar. “Dan Allah mencintai orang-orang yang sabar.” (Ali Imran: 146)

  5. Kebersamaan Allah dengan orang-orang yang sabar. Artinya Allah senantiasa akan menyertai hamba- hamba-Nya yang sabar. “Dan bersabarlah kamu, karena sesungguhnya Allah itu beserta orang-orang yang sabar.” (Al-Anfal: 46)

  6. Mendapatkan pahala surga dari Allah. (Ar-Ra’d:23-24)

Kesabaran sebagaimana Digambarkan dalam Hadits

Sebagaimana dalam Al-Qur’an, dalam hadits banyak sekali sabda Rasulullah yang menggambarkan kesabaran. Dalam kitab Riyadhus Shalihin, Imam Nawawi mencantumkan 29 hadits yang bertemakan sabar. Secara garis besar:

  1. Kesabaran merupakan “dhiya’ ” (cahaya yang amat terang). Karena dengan kesabaran inilah, seseorang akan mampu menyingkap kegelapan. Rasulullah mengungkapkan, “…dan kesabaran merupakan cahaya yang terang…” (HR. Muslim)

  2. Kesabaran merupakan sesuatu yang perlu diusahakan dan dilatih secara optimal. Rasulullah pernah menggambarkan: “…barang siapa yang mensabar- sabarkan diri (berusaha untuk sabar), maka Allah akan menjadikannya seorang yang sabar…” (HR. Bukhari)

  3. Kesabaran merupakan anugerah Allah yang paling baik. Rasulullah mengatakan, “…dan tidaklah seseorang itu diberi sesuatu yang lebih baik dan lebih lapang daripada kesabaran.” (Muttafaqun Alaih)

  4. Kesabaran merupakan salah satu sifat sekaligus ciri orang mukmin, sebagaimana hadits yang terdapat pada muqadimah; “Sungguh menakjubkan perkara orang yang beriman, karena segala perkaranya adalah baik. Jika ia mendapatkan kenikmatan, ia bersyukur karena (ia mengatahui) bahwa hal tersebut adalah memang baik baginya. Dan jika ia tertimpa musibah atau kesulitan, ia bersabar karena (ia mengetahui) bahwa hal tersebut adalah baik baginya.” (HR. Muslim)

  5. Seseorang yang sabar akan mendapatkan pahala surga. Dalam sebuah hadits digambarkan; Dari Anas bin Malik ra berkata, bahwa aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah berfirman, ‘Apabila Aku menguji hamba-Ku dengan kedua matanya, kemudian diabersabar, maka aku gantikan surga baginya’.” (HR. Bukhari)

  6. Sabar merupakan sifat para nabi. Ibnu Mas’ud dalam sebuah riwayat pernah mengatakan: Dari Abdullan bin Mas’ud berkata: ”Seakan-akan aku memandang Rasulullah saw. menceritakan salah seorang nabi, yang dipukuli oleh kaumnya hingga berdarah, kemudia ia mengusap darah dari wajahnya seraya berkata, ‘Ya Allah ampunilah dosa kaumku, karena sesungguhnya mereka tidak mengetahui.” (HR. Bukhari)

  7. Kesabaran merupakan ciri orang yang kuat. Rasulullah pernah menggambarkan dalam sebuah hadits; Dari Abu Hurairah ra berkata, bahwa Rasulullah bersabda, “Orang yang kuat bukanlah yang pandai bergulat, namun orang yang kuat adalah orang yang memiliki jiwanya ketika marah.” (HR. Bukhari)

  8. Kesabaran dapat menghapuskan dosa. Rasulullah menggambarkan dalam sebuah haditsnya; Dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullan saw. bersabda, “Tidaklah seorang muslim mendapatkan kelelahan, sakit, kecemasan, kesedihan, mara bahaya dan juga kesusahan, hingga duri yang menusuknya, melainkan Allah akan menghapuskan dosa-dosanya dengan hal tersebut.” (HR. Bukhari & Muslim)

  9. Kesabaran merupakan suatu keharusan, dimana seseorang tidak boleh putus asa hingga ia menginginkan kematian. Sekiranya memang sudah sangat terpaksa hendaklah ia berdoa kepada Allah, agar Allah memberikan hal yang terbaik baginya; apakah kehidupan atau kematian. Rasulullah saw. mengatakan; Dari Anas bin Malik ra, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Janganlah salah seorang diantara kalian mengangan- angankan datangnya kematian karena musibah yang menimpanya. Dan sekiranya ia memang harus mengharapkannya, hendaklah ia berdoa, ‘Ya Allah, teruskanlah hidupku ini sekiranya hidup itu lebih baik untukku. Dan wafatkanlah aku, sekiranya itu lebih baik bagiku.” (HR. Bukhari Muslim)

Bentuk-Bentuk Kesabaran

Para ulama membagi kesabaran menjadi tiga:

  1. Sabar dalam ketaatan kepada Allah. Merealisasikan ketaatan kepada Allah, membutuhkan kesabaran, karena secara tabiatnya, jiwa manusia enggan untuk beribadah dan berbuat ketaatan. Ditinjau dari penyebabnya, terdapat tiga hal yang menyebabkan insan sulit untuk sabar. Pertama karena malas, seperti dalam melakukan ibadah shalat. Kedua karena bakhil (kikir), seperti menunaikan zakat dan infaq. Ketiga karena keduanya, (malas dan kikir), seperti haji dan jihad.

  2. Sabar dalam meninggalkan kemaksiatan. Meninggalkan kemaksiatan juga membutuhkan kesabaran yang besar, terutama pada kemaksiatan yang sangat mudah untuk dilakukan, seperti ghibah (baca; ngerumpi), dusta, dan memandang sesuatu yang haram.

  3. Sabar dalam menghadapi ujian dan cobaan dari Allah, seperti mendapatkan musibah, baik yang bersifat materi ataupun inmateri; misalnya kehilangan harta dan kehilangan orang yang dicintai.

Kiat-kiat Untuk Meningkatkan Kesabaran

Ketidaksabaran (baca; isti’jal) merupakan salah satu penyakit hati, yang harus diterapi sejak dini. Karena hal ini memilki dampak negatif pada amal. Seperti hasil yang tidak maksimal, terjerumus kedalam kemaksiatan, enggan melaksanakan ibadah. Oleh karena itulah, diperlukan beberapa kiat guna meningkatkan kesabaran. Di antaranya:

  1. Mengikhlaskan niat kepada Allah swt.

  2. Memperbanyak tilawah (membaca) Al-Qur’an, baik pada pagi, siang, sore ataupun malam hari. Akan lebih optimal lagi manakala bacaan tersebut disertai perenungan dan pentadaburan.

  3. Memperbanyak puasa sunnah. Puasa merupakan ibadah yang memang secara khusus dapat melatih kesabaran.

  4. Mujahadatun nafs, yaitu sebuah usaha yang dilakukan insan untuk berusaha secara giat untuk mengalahkan nafsu yang cenderung suka pada hal-hal negatif, seperti malas, marah, dan kikir.

  5. Mengingat-ingat kembali tujuan hidup di dunia. Karena hal ini akan memacu insan untuk beramal secara sempurna.

  6. Perlu mengadakan latihan-latihan sabar secara pribadi. Seperti ketika sedang sendiri dalam rumah, hendaklah dilatih untuk beramal ibadah dari pada menyaksikan televisi, misalnya. Kemudian melatih diri untuk menyisihkan sebagian rezeki untuk infaq fi sabilillah.

  7. Membaca-baca kisah-kisah kesabaran para sahabat, tabi’in maupun tokoh-tokoh Islam lainnya.

(Oleh: Tim dakwatuna.com, Sumber Artikel: http://www.dakwatuna.com, pada Kategori Syarah Hadits)

“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat kecuali bagi orang-orang yang khusyu’, (yaitu) orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Tuhannya dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya”. (Al-Baqarah: 45-46)

Ibnu Katsir menjelaskan satu prinsip dan kaidah dalam memahami Al-Qur’an berdasarkan ayat ini bahwa meskipun ayat ini bersifat khusus ditujukan kepada Bani Israel karena konteks ayat sebelum dan sesudahnya ditujukan kepada mereka, namun secara esensi bersifat umum ditujukan untuk mereka dan selain mereka. Bahkan setiap ayat Al-Qur’an, langsung atau tidak langsung sesungguhnya lebih diarahkan kepada orang-orang yang beriman, karena hanya mereka yang mau dan siap menerima pelajaran dan petunjuk apapun dari Kitabullah. Maka peristiwa yang diceritakan Allah Taala tentang Bani Israel, terkandung di dalamnya perintah agar orang-orang yang beriman mengambil pelajaran dari peristiwa yang dialami mereka. Begitulah kaidah dalam setiap ayat Al-Qur’an sehingga kita bisa mengambil bagian dari setiap ayat Allah swt. “Al-Ibratu Bi’umumil Lafzhi La Bikhusus sabab” (Yang harus dijadikan dasar pedoman dalam memahami Al-Qur’an adalah umumnya lafazh, bukan khususnya sebab atau peristiwa yang melatarbelakanginya”.

Perintah dalam ayat di atas sekaligus merupakan solusi agar umat secara kolektif bisa mengatasi dengan baik segala kesulitan dan problematika yang datang silih berganti. Sehingga melalui ayat ini, Allah memerintahkan agar kita memohon pertolongan kepada-Nya dengan senantiasa mengedepankan sikap sabar dan menjaga shalat dengan istiqamah. Kedua hal ini merupakan sarana meminta tolong yang terbaik ketika menghadapi berbagai kesulitan. Rasulullah saw selaku uswah hasanah, telah memberi contoh yang konkrit dalam mengamalkan ayat ini. Di dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dijelaskan bahwa, “Sesungguhnya Rasulullah saw apabila menghadapi suatu persoalan, beliau segera mengerjakan shalat“.

Huzaifah bin Yaman menuturkan, “Pada malam berlangsungnya perang Ahzab, saya menemui Rasulullah saw, sementara beliau sedang shalat seraya menutup tubuhnya dengan jubah. Bila beliau menghadapi persoalan, maka beliau akan mengerjakan shalat“. Bahkan Ali bin Abi Thalib menuturkan keadaan Rasulullah saw pada perang Badar, “Pada malam berlangsungnya perang Badar, semua kami tertidur kecuali Rasulullah, beliau shalat dan berdo’a sampai pagi“.

Dalam riwayat Ibnu Jarir dijelaskan bagaimana pemahaman sekaligus pengamalan sahabat Rasulullah saw terhadap ayat ini. Diriwayatkan bahwa ketika Ibnu Abbas melakukan perjalanan, kemudian sampailah berita tentang kematian saudaranya Qatsum, ia langsung menghentikan kendaraanya dan segera mengerjakan shalat dua raka’at dengan melamakan duduk. Kemudian ia bangkit dan menuju kendaraannya sambil membaca, “Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat kecuali bagi orang-orang yang khusyu’“.

Secara khusus untuk orang-orang yang beriman, perintah menjadikan sabar dan shalat sebagai penolong ditempatkan dalam rangkaian perintah dzikir dan syukur. “Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku, niscaya Aku ingat (pula) kepadamu dan bersyukurlah kepadaKu dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)Ku. Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Sesungguhnya Allah swt senantiasa bersama dengan orang-orang yang sabar“. (Al-Baqarah: 152-153). Dalam kaitan dengan dzikir, menjadikan sabar dan shalat sebagai penolong adalah dzikir. Siapa yang berdzikir atau mengingat Allah dengan sabar, maka Allah akan mengingatnya dengan rahmat.

Masih dalam konteks orang yang beriman, sikap sabar yang harus selalu diwujudkan adalah dalam rangka menjalankan perintah-perintah Allah Taala, karena beban berat yang ditanggungnya akan terasa ringan jika diiringi dengan sabar dan shalat. Ibnul Qayyim mengkategorikan sabar dalam rangka menjalankan perintah Allah Taala termasuk sabar yang paling tinggi nilainya dibandingkan dengan sabar dalam menghadapi musibah dan persoalan hidup.

Syekh Sa’id Hawa menjelaskan dalam tafsirnya, Asas fit Tafasir kenapa sabar dan shalat sangat tepat untuk dijadikan sarana meminta pertolongan kepada Allah Taala. Beliau mengungkapkan bahwa sabar dapat mendatangkan berbagai kebaikan, sedangkan shalat dapat mencegah dari berbagai perilaku keji dan munkar, disamping juga shalat dapat memberi ketenangan dan kedamaian hati. Keduanya (sabar dan shalat) digandengkan dalam kedua ayat tersebut dan tidak dipisahkan, karena sabar tidak sempurna tanpa shalat, demikian juga shalat tidak sempurna tanpa diiringi dengan kesabaran. Mengerjakan shalat dengan sempurna menuntut kesabaran dan kesabaran dapat terlihat dalam shalat seseorang.

Lebih rinci, syekh Sa’id Hawa menjelaskan sarana lain yang terkait dengan sabar dan shalat yang bisa dijadikan penolong. Puasa termasuk ke dalam perintah meminta tolong dengan kesabaran karena puasa adalah separuh dari kesabaran. Sedangkan membaca Al-Fatihah dan doa termasuk ke dalam perintah untuk meminta tolong dengan shalat karena Al-Fatihah itu merupakan bagian dari shalat, begitu juga dengan do’a.

Memohon pertolongan hanya kepada Allah merupakan ikrar yang selalu kita lafadzkan dalam setiap shalat kita, “Hanya kepada-Mu-lah kami menyembah dan hanya kepadaMulah kami mohon pertolongan“. Agar permohonan kita diterima oleh Allah, tentu harus mengikuti tuntunan dan petunjuk-Nya. Salah satu dari petunjuk-Nya dalam memohon pertolongan adalah dengan sentiasa bersikap sabar dan memperkuat hubungan yang baik dengan-Nya dengan menjaga shalat yang berkualitas. Disinilah shalat merupakan cerminan dari penghambaan kita yang tulus kepada Allah.

Esensi sabar menurut Abdurrahman bin Zaid bin Aslam dapat dilihat dari dua hal: Pertama, sabar karena Allah atas apa yang disenangi-Nya, meskipun terasa berat bagi jiwa dan raga. Kedua, sabar karena Allah atas apa yang dibenci-Nya, walaupun hal itu bertentangan keinginan hawa nafsu. Siapa yang bersikap seperti ini, maka ia termasuk orang yang sabar yang Insya Allah akan mendapat tempat terhormat.

Betapa kita sangat membutuhkan limpahan pertolongan Allah dalam setiap aktivitas dan persoalan kehidupan kita. Adalah sangat tepat jika secara bersama-sama kita bisa mengamalkan petunjuk Allah dalam ayat di atas agar permohonan kita untuk mendapatkan pertolongan-Nya segera terealisir. Amin

http://suryadhie.wordpress.com/