Selasa, 12 Mei 2009

Tiga Tantangan Dakwah Umat Islam

Sebelum maraknya paham liberal, cendekiawan Muslim Mohammad Natsir telah menyampaikan 3 tantangan dakwah. Baca Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian ke-260

Oleh: Adian Husaini

hidayatullah.com--Harian Republika (20/4/2009) menurunkan berita berjudul “Tiga Tantangan Dakwah Umat Islam”. Berita itu mengutip bagian orasi ilmiah yang saya sampaikan di Aula Masjid al-Furqan - Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia pada 18 April 2009. Tiga tantangan dakwah eksternal itu saya ambil dari rumusan Mohammad Natsir yang disampaikan kepada sejumlah cendekiawan Muslim pada tahun 1986-1987.

Ketika itu, sejumlah cendekiawan – seperti Dr. M. Amien Rais, Dr. Kuntowijoyo, Dr. Yahya Muhaimin, Dr. A. Watik Pratiknya, dan Endang S. Anshari -- melakukan wawancara intensif dengan Dr. Mohammad Natsir. Mereka menggali pemikiran Natsir dengan sangat intensif. Berulangkali wawancara dilakukan. Sayang, hasil rekaman wawancara itu kemudian tidak terselamatkan. Dokumen yang tersisa hanya sebuah buku setebal 143 halaman, berjudul Percakapan Antar Generasi: Pesan Perjuangan Seorang Bapak (1989).

Tentu saja, buku ini menjadi sangat penting, karena merekam pemikiran dan pesan-pesan perjuangan Dr. Mohammad Natsir kepada generasi pelanjutnya. Natsir memang dikenal sebagai seorang pejuang dan pemikir Islam, yang pada 7 November 2008 diberi gelar Pahlawan Nasional oleh pemerintah RI.

Kiprah M. Natsir dalam perjuangan Islam dikenal secara luas, bukan hanya di Indonesia, tetapi juga di dunia Islam. Meskipun buku Percakapan Antar Generasi itu mengemukakan gagasan-gagasan singkat, tetapi banyak pemikiran penting yang bisa dipetik dari seorang M. Natsir, yang ketika itu sampai pada tahap-tahap kematangan pemikirannya, setelah berkiprah dalam dunia dakwah lebih dari 60 tahun.

Dalam buku Percakapan Antar Generasi: Pesan Perjuangan Seorang Bapak, M. Natsir menyebutkan, ada tiga tantangan dakwah yang dihadapi umat Islam Indonesia, yaitu (1) Pemurtadan, (2) Gerakan sekularisasi, dan (3) gerakan nativisasi. Sepanjang hidupnya, Natsir sangat peduli dengan ketiga tantangan dakwah tersebut.

Untuk menanggulangi Kristenisasi, Natsir aktif menggerakkan kader-kader Muslim untuk membendung arus Kristenisasi. Ia pun aktif menulis buku-buku seputar Kristenisasi. Meskipun berteman dengan sejumlah tokoh Kristen, Natsir tidak rela umat Islam menjadi sasaran gerakan pemurtadan melalui Kristenisasi. Berikut ini, sebuah contoh imbauan M. Natsir kepada kaum Kristen di Indonesia:

"Hanya satu saja permintaan kami: Isyhaduu bi anna muslimuun. Saksikanlah dan akuilah bahwa kami ini adalah Muslimin. Yakni orang-orang yang sudah memeluk agama Islam. Orang-orang yang sudah mempunyai identitas-identitas Islam. Jangan identitas kami saudara-saudara ganggu, jangan kita ganggu-mengganggu dalam soal agama ini. Agar agama-agama jangan jadi pokok sengketa yang sesungguhnya tidak semestinya begitu. Marilah saling hormat menghormati identitas kita masing-masing, agar kita tetap bertempat dan bersahabat baik dalam lingkungan "Iyalullah" keluarga Tuhan yang satu itu.

Kami ummat Islam tidak apriori menganggap musuh terhadap orang-orang yang bukan Islam. Tetapi tegas pula Allah SWT melarang kami bersahabat dengan orang-orang yang mengganggu agama kami, agama Islam. Malah kami akan dianggap zalim bila berbuat demikian (almumtahinah). Dengan sepenuh hati kami harapkan supaya saudara-saudara tidaklah hendaknya mempunyai hasrat sebagaimana idam-idaman sementara golongan orang-orang Nashara yang disinyalir dalam Al Quran yang tidak senang sudah, bila belum dapat mengkristenkan orang-orang yang sedang beragama Islam. Mudah-mudahan jangan demikian, sebab kalau demikian maka akan putuslah tali persahabatan, akan putus pula tali suka dan duka yang sudah terjalin antara kita semua.

Jangan-jangan nanti jalan kita akan bersimpang dua dengan segala akibat yang menyedihkan. Baiklah kita berpahit-pahit, kadang-kadang antara saudara dengan saudara ada baiknya kita berbicara dengan berpahit-pahit, yakni yang demikian tidaklah dapat kami lihatkan saja sambil berpangku tangan.

Sebab, kalaulah ada sesuatu harta yang kami cintai dari segala-galanya itu ialah agama dan keimanan kami. Itulah yang hendak kami wariskan kepada anak cucu dan keturunan kami. Jangan tuan-tuan coba pula memotong tali warisan ini." (Seperti dikutip oleh Prof. Umar Hubeis dalam mukaddimah buku Dialog Islam dan Kristen, yang ditulis oleh Bey Arifin, 1983:28-29).

Jadi, kata M. Natsir: "harta yang kami cintai dari segala-galanya itu ialah agama dan keimanan kami". Ungkapan itu mengindikasikan keseriusan seorang Muslim yang peduli dengan aqidah umat. Bagi seorang Muslim, mempertahankan keimanan adalah hal terpenting. Tugas berikutnya adalah melaksanakan aktivitas amar ma’ruf nahi munkar, yakni memperjuangkan tegaknya kebenaran dan mencegah serta melawan kemunkaran, yang sering diistilahkan oleh M. Natsir sebagai aktivitas “binaa’an wa difaa’an.”

Tantangan kedua yang disebutkan M. Natsir adalah sekularisasi. Dalam pesannya kepada generasi Amien Rais dan kawan-kawan tersebut, M. Natsir menyatakan bahwa selain timbul secara ”alamiah” akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sekularisasi juga dilakukan secara aktif oleh sejumlah kalangan. Menurutnya, sekularisasi otomatis akan berdampak pada pendangkalan aqidah. Tentang hal ini, M. Natsir menyatakan:

Namun demikian, proses sekularisasi yang terjadi seperti ”alamiah” sejalan dengan perkembangan zaman di atas, rupanya dihidup-hidupkan oleh sekelompok orang. Saya sebut ”dihidup-hidupkan” karena memang kita mengetahui ada usaha aktif untuk terjadinya proses sekularisasi ini. Di tahun tujuh-puluhan kita ingat adanya ”gerakan sekularisasi” dalam rangka apa yang mereka sebut ”pembaharuan” Islam. Demikian pula yang terjadi akhir-akhir ini, ada ”reaktualisasi”, ada ”kontekstualisasi”, dan sebagainya. Jadi memang ada usaha aktif.

Proses sekularisasi ini amat nyata terutama dalam sistem pendidikan kita. Pelajaran atau pemahaman agama diberikan bukan saja dalam content yang terbatas, tetapi diberikannya pelajaran lain yang isinya mengaburkan atau bahkan bertentangan dengan tujuan mendidik manusia religius. Proses sekularisasi juga menggunakan jalur publikasi dan media massa. Baik dalam bentuk buku-buku maupun tulisan. Dalam kaitan ini saya mengajak pada para intelektual muslim khususnya untuk memikirkan bagaimana menghadapi arus sekularisasi ini, baik yang terjadi secara alamiah maupun yang disengaja.”

Ketika itu, M. Natsir sangat prihatin dengan gerakan pembaruan Islam dan sekularisasi yang digerakkan oleh Nurcholish Madjid. Pada 3 Januari 1970, Nurcholish Madjid, yang ketika itu menjabat Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam Indonesia (HMI), secara resmi menggulirkan perlunya dilakukan sekularisasi Islam dan juga proses Liberalisasi. Dalam makalahnya yang berjudul: “Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat”, Nurcholish Madjid menyatakan: “…pembaruan harus dimulai dengan dua tindakan yang saling erat hubungannya, yaitu melepaskan diri dari nilai-nilai tradisional dan mencari nilai-nilai yang berorientasi ke masa depan. Nostalgia, atau orientasi dan kerinduan pada masa lampau yang berlebihan, harus diganti dengan pandangan ke masa depan. Untuk itu diperlukan suatu proses liberalisasi. Proses itu dikenakan terhadap “ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan Islam” yang ada sekarang ini...” Untuk itu, menurut Nurcholish, ada tiga proses yang harus dilakukan dan saling kait-mengait: (1) sekularisasi, (2) kebebasan intelektual, dan (3) ‘Gagasan mengenai kemajuan’ dan ‘Sikap Terbuka’.

Sebagai orang tua yang mengaku sangat berharap pada Nurcholish Madjid, Natsir akhirnya kecewa dengan gagasan dan gerakan sekularisasi tersebut. Pada 1 Juni 1972, dilakukan pertemuan tokoh-tokoh di kediaman M. Natsir. Semula, pertemuan itu bukan untuk membahas fenomena gagasan Pembaharuan, tetapi akhirnya hal itu menjadi pembahasan pokok ketika Natsir mengungkapkan masalah tersebut. Meskipun mengaku sudah menganggap Nurcholish Madjid seperti “anak sendiri”, tetapi Natsir mengaku risau dengan hasrat gagasan Pembaharuan yang ingin “menjauhkan diri dari “cita-cita akidah dan umat Islam.” (Lihat, Muhammad Kamal Hassan, Modernisasi Indonesia: Respon Cendekiawan Muslim (Ciputat: Lingkaran Studi Indonesia, 1987),

Natsir sendiri memandang bahwa modernisasi dalam Islam harus diartikan sebagai ”kembali kepada yang pokok atau keaslian”, bukan ”menyimpang dari yang telah ada, tanpa melihat baik dan buruknya”. Sedangkan pengertian ”Tajdid”, Natsir mengutip dari tokoh Muhammadiyah KH Faqih Usman, yaitu ”mengintrodusir kembali apa yang dulu pernah ada tetapi ditinggalkan.” Yaitu, ”membersihkan kembali Islam dari apa yang telah ditutupi oleh ”noda-noda”.” (Lihat, Percakapan antar-Generasi, hal. 25-26).

Karena memandang sekularisasi dan sekularisme sebagai ancaman yang serius bagi umat Islam, maka M. Natsir mencurahkan segenap tenaganya untuk menghadapi paham seperti ini. Bahkan, pada hampir sebagian besar masa hidupnya, Natsir telah melibatkan diri secara aktif dalam upaya menanggulangi dan melawan gerakan sekularisasi. Sebelum masa kemerdekaan, bersama gurunya, A. Hassan, Natsir sudah terlibat polemik dengan Soekarno.

Setelah merdeka, Natsir terus berjuang menawarkan Islam sebagai solusi bagi bangsa Indonesia dan menjelaskan bahaya sekularisme. Pada Sidang Konstituante pada 13 November 1957, Natsir menyampaikan pidato yang bersejarah tentang Islam dan sekularisme. Ketika itulah, Natsir mengupas tuntas kelemahan sekularisme, yang dia katakan sebagai paham tanpa agama, atau la diiniyah.

Sekularisme, kata Natsir, adalah suatu cara hidup yang mengandung paham, tujuan, dan sikap hanya di dalam batas keduniaan. ”Seorang sekularis tidak mengakui adanya wahyu sebagai salah satu sumber kepercayaan dan pengatahuan. Ia menganggap bahwa kepercayaan dan nilai-nilai itu ditimbulkan oleh sejarah ataupun oleh bekas-bekas kehewanan manusia semata-mata dan dipusatkan kepada kebahagiaan manusia dalam kehidupan sekarang ini belaka,” ujar Natsir.

Natsir dengan tegas menawarkan kepada Sidang Konstituante agar menjadikan Islam sebagai dasar negara RI. Kata Natsir, ”Jika dibandingkan dengan sekularisme yang sebaik-baiknya pun, maka adalah agama masih lebih dalam dan lebih dapat diterima oleh akal. Setinggi-tinggi tujuan hidup bagi masyarakat dan perseorangan yang dapat diberikan oleh sekularisme, tidak melebihi konsep dari apa yang disebut humanity (perikemanusiaan). Yang menjadi soal adalah pertanyaan, ”Di mana sumber perikemanusiaan itu?”

Jika ditelaah, pidato Natsir itu sangat mendasar sifatnya. Natsir sudah mengkritik paham ”kemanusiaan” yang dijadikan pilihan bagi kaum sekular yang menafikan peran Tuhan sebagai sumber kemanusiaan. Padahal, paham kemanusiaan inilah yang kini dijadikan banyak orang untuk melandasi konsep-konsep HAM. Demi ”kemanusiaan”, kaum sekular memandang baik perkawinan sesama jenis dan perkawinan lintas agama. Juga demi kemanusiaan, kaum sekular memandang perzinahan sebagai hal yang baik, selama dilakukan suka sama suka. Begitu juga, dengan alasan ”kemanusiaan” dan ”nilai kesenian”, kaum sekular mendukung hak untuk ”bertelanjang” dengan alasan ”kebebasan berekspresi”.

Karena itulah, Natsir mempersoalkan, ”di mana sumber kemanusiaan”? Islam menegaskan, bahwa sumber nilai kemanusiaan adalah wahyu, bukan perasaan manusia atau budaya manusia. Karena wahyu, maka ia bersifat universal, abadi, dan pasti. Seorang Muslim, misalnya, pasti mengasihi sesama makhluk, karena berdasarkan pada keimanannya. Tetapi, Nabi Ibrahim a.s. terpaksa harus berpisah dengan ayahnya karena urusan keimanan. Sejumlah muslimah di Mekkah memilih untuk meninggalkan suami mereka karena urusan iman. Aspek ”iman” inilah yang luput dari pemikiran kaum sekular. Kaum feminis sekular yang menolak konsep ”pengabdian pada suami” bagi wanita, menafikan aspek iman. Padahal, banyak muslimah merasakan kebahagiaan dalam hidupnya karena yakin, bahwa mentaati perintah suami adalah satu bentuk ibadah.

Karena itulah, Natsir mengajak bangsa Indonesia untuk secara serius meninggalkan pandangan hidup sekular. Karena perhatiannya yang begitu serius terhadap masalah sekularisme ini, Natsir memang tidak sejalan dengan gagasan sekularisasi Nurcholish Madjid. Natsir juga mendukung usaha Prof. HM Rasjidi yang menerbitkan dua buku berisi kritik terhadap pemikiran Nurcholish Madjid. Tahun 1972, Rasjidi menulis buku Sekularisme dalam Persoalan Lagi: Suatu Koreksi atas Tulisan Drs. Nurcholish Madjid, (Jakarta: Jajasan Bangkit). Setahun kemudian, Rasjidi kembali menulis buku berjudul Suatu Koreksi Lagi bagi Drs. Nurcholish Madjid, (Jakarta: DDII, 1973). Sebagai seorang senior yang berpengalaman belajar pada para orientalis di Barat dan juga mengajar di McGill University, Prof. Rasjidi seperti tidak tahan lagi melihat kekeliruan pemikiran Nurcholish Madjid. Dalam kritik-kritiknya, Rasjidi juga mengupas upaya Nurcholish Madjid yang ’arbitrair’ (semena-mena) dalam menggunakan istilah tertentu.

Tantangan ketiga yang disebut M. Natsir adalah ”nativisasi”. Upaya ini dilakukan baik secara sistematis atau tidak, untuk menafikan peran Islam dalam pembentukan kebudayaan Indonesia. Islam dianggap sebagai barang asing yang tidak sesuai dengan jati diri bangsa. Upaya nativisasi ini telah kita bahas dalam CAP 259, sebagaimana dilakukan oleh orientalis Belanda, seperti Snouck Hurgronje. [www.hidayatullah.com]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar